nusakini.com-Jakarta- Kebutuhan primer keluarga prasejahtera seringkali tidak terpenuhi sehingga kualitas hidup mereka rendah. Kebanyakan dari mereka pun tidak memiliki hunian yang layak. 

Permasalahan tersebut juga ditemui di Kota Surabaya. Sebagai kota yang tergolong metropolitan karena pertumbuhannya pesat, namun masyarakatnya masih ada yang termasuk penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). 

Di tahun 2003, Pemkot Surabaya menggagas terobosan Tahu Panas atau Tak Takut Kepanasan, Tak Takut Kehujanan. Program inovasi Tahu Panas berlanjut sampai saat ini dan terus dilakukan pengembangan. 

Tahu Panas adalah kegiatan perbaikan rumah tidak layak huni sehingga kualitas hidup keluarga prasejahtera dapat meningkat dengan memiliki rumah yang aman dan sehat. Dengan inovasi tersebut, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan material, spiritual dan sosial untuk hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. 

Uniknya, Tahu Panas ini dilakukan dengan partisipasi masyarakat (community based development). “Kegiatan ini dirumuskan dan dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan bottom up, dimana pelaksanaan kegiatan di lapangan dilakukan atas inisiatif dan aspirasi dari masyarakat. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan pembangunan,” jelas Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Surabaya Suharto Wardoyo dalam sesi Presentasi dan Wawancara Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) Tahun 2020 secara virtual, beberapa waktu lalu. 

Lanjutnya dikatakan, masyarakat memiliki peran sangat penting dan dituntut untuk terlibat secara aktif dalam pelaksanaan inovasi ini. Pemkot Surabaya mendorong dengan menyediakan dana stimulus agar masyarakat berperan aktif. 

Perbaikan untuk satu unit rumah hanya membutuhkan waktu selama 19 hari. Untuk tenaga yang dipekerjakan, hanya dua tukang dan dua pembantu tukang, sehingga tenaga yang digunakan benar-benar efektif dan efisien. 

Pelaksanaan pekerjaan perbaikan rumah juga terbantu dengan adanya partisipasi warga masyarakat sekitar, sehingga pekerjaan lebih ringan dengan bergotong royong. Biaya pelaksanaan pekerjaan, berasal dari APBD untuk satu unit rumah sebesar 30 juta rupiah. Dalam proses pelaksanaannya banyak muncul partisipasi dari keluarga penerima manfaat dan dari warga masyarakat di sekitar lingkungan tersebut, baik berupa bantuan tenaga maupun bahan material bangunan. 

“Kegiatan perbaikan rumah tidak layak huni, bukan semata-mata kegiatan yang berorentasi fisik, melainkan merupakan satu kesatuan penanganan dengan aspek sosial ekonomi yang berorientasi pada kerangka pemberdayaan masyarakat dan keluarga,” terangnya. 

Sejak tahun anggaran 2019, perbaikan rumah tidak layak huni lebih difokuskan pada konsep rumah sehat yang layak huni. Konsep rumah sehat adalah menjadikan rumah kuat, aman, dan nyaman. Kuat secara struktur berarti dilaksanakan sesuai kaidah-kaidah teknis yang ada serta aman dari bahaya kebakaran akibat konsleting listrik. Konsep rumah sehat yang paling penting adalah dengan mengutamakan pembuatan jamban sehat dan sanitasinya, pembuatan bukaan ventilasi atau sirkulasi udara serta pencahayaan sinar matahari yang cukup. (p/ab)